Cerbung, "Ibuku Gila" Part 9, Oleh Reni Juniarti
#IBUKU GILA
#PART9
***
Melihat isyarat tangan gadis itu, aku ‘pun mengurungkan niatku. Akan tetapi aku tidak betul-betul menjauh, aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Tangisan Mey semakin menjadi-jadi, benar-benar seperti anak kecil. Aku yakin Eis dan yang lainnya sama bingungnya dengan aku. Itu dapat aku lihat dari tatapan mereka.
“Jangan dekat!” bentak Mak, ketika Mey berusaha mendekatinya.
Mak mulai lagi mengamuk, bantal-bantal sudah beterbangan dilemparkan Mak, tempat tidur sudah acak-acakan. Mak mulai menarik-narik jilbabnya, dulu ketika belum memakai penutup kepala rambutnyalah yang menjadi sasaran. Aku tidak bisa melihat Mak seperti ini, hatiku seperti dihantam palu godam. Bagaimana tidak, wanita yang paling aku hormati dan aku sayangi, yang menganarku melihat dunia ini dengan berjuang melawan maut, antara hidup dan mati sekarang sedang menderita dan akku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mak, Maafkan Satria.”
“Mey, biar aku bantu,” aku angkat bicara.
“Nggak usah, kalau bisa boleh yang lain tinggalkan Eis dan aku di sini?” Aku mengerutkan kening mendengar permintaan gadis ini.
“Percayalah, Sat, InshaAllah dengan pertolongan Allah aku bisa membantu Mak.” Sambung gadis ini, aku melihat mata merahnya sembab dan memancarkan permohonan.
Aku mengajak yang lain keluar dari kamar Mak, satu-satunya pilihanku sekarang. Biasanya kalau sudah mengamuk hebat, kami akan membawa Mak ke dokter, setelah mendapat suntikan penenang dari dokter Mak akan tertidur.
Aku tidak tahu apa yang terjadi di atas, semua yang ada ruang tamu ini seperti kehilangan suara. Senyap. Aku memilih diam menikmati perasaan yang entah bagaimana. Sulit menjelaskan apa yang aku rasakan sekarang, sejujurnya ku juga lelah menghadapi semua ini, Adikku yang gagal tunangan, Mak yang kambuh dan Ayah yang tidak pernah aku pahami perasaannya. Sungguh aku tidak pernah malu atas apa yang menimpa Mak, sama sekali tidak, tapi melihatnya seperti ini membuatku merasa tidak berarti sebagai seorang anak.
Kami pernah membawa Mak dulu ke Rumah Sakit Jiwa, tapi hanya dua hari dua malam, Ayah tidak tega dan akhirnya memutuskan menjemput Mak kembali. Akhirnya kami memutuskan untuk merawat Mak di rumah dan tetap menebus obat dan terapi dengan dokter setiap bulan. Membaikkah Mak? Tidak!
“Sat, Lu udah bawa nyokap Lu ke dokter?” Efan menyentuh pundakku. Aku mengangguk menanggapi pertanyaannya.
“Gua udah bawa kemana-mana tu, Fan, bahkan ke orang pintar.”
“Apa kata dokter?”
“Kata dokter, Nyokap gua cenderung mengidap Skizofrenia.”
“Skizofrenia?”
Aku melihat kebingungan di wajah sahabatku itu. Mungkin nama penyakit tersebut masih asing baginya.
“Iya, itu sejenis penyakit kejiwaan yang seperti melihat dan mendengar sesuatu yang orang lain nggak lihat tapi dia melihatnya, semacam halusinasi. Biasanya pasien ini perasaannya nggak stabil, sering ngamuk jika ada sesuatu yang tidak sesuai keinginannya.” Aku menjelaskan sesuai pemahamanku terhadap penyakit Mak. Lebih tepatnya pemahamanku berdasarkan keterangan dokter.
Aku juga pernah mencari jenis penyakit ini di internet, hasilnya memang sama seperti penjelasan dokter Mak. Efan manggut-manggut mendengar penjelasanku.
“Sat, cobalah bawa ibu kamu ke Jakarta, di sana pengobatan lebih lengkap.” Suara mama Efan terdengar lembut.
“Iya, Sat, Bapak akan membantu apapun nanti yang menjadi kendalamu.” Pak Aditama menimpali.
“Terima kasih Pak, Ibu, saya juga sudah pernah membawa ibu saya ke salah satu rumah sakit ternama di Jakarta, tapi seperti saran dokter tersebut obat dan terapi hanya membantu, pada dasarnya keluargalah yang paling dibutuuhkan di sini. Selain itu, Ayah tidak mau kalau ibu saya di rawat inap, kasihan katanya.” Aku menjelaskan kepada suami istri yang memiliki hati emas itu. Yah, keluarga Aditama memang kaya raya akan tetapi mereka memiliki kepedulian terhadap sesama. Bahkan Efan saja yang suka mempermainkan perempuan sesungguhnya memiliki hati yang baik. Dia suka menolong orang lain.
“Saya bukannya tidak mau, tapi saya tidak tega meninggalkan istri saya sendirian dalam keadaan sakit.” Suara Ayah terdengar parau.
“Ridwan, kamu terlalu berlebihan, di sanakan ada perawat, ada dokter,” Tante Vivi menyela.
“Aku tahu, Kak, tapi tetap saja aku tak sampai hati.”
“Wan, istrimu itu sakit jiwa!” suara Tante Vivi mulai meninggi.
“Kakak!”
“Tante!”
Aku dan ayah sama-sama memotong pembicaraan Tante Vivi. Seperti halnya Ayah, aku ‘pun tak pernah rela Mak dikatakan sakit jiwa meskipun sebenarnya itu benar. Tante Vivi terdiam dengan raut tidak suka.
“Berkali-kali aku memohon, jangan berbicara dengan nada merendahkan tentang Nur, Kak.”
“Aku tidak merendahkan, ini fakta, Wan.”
“Vivi, diamlah, jangan menambah keruh suasana, Ridwan sedang butuh dukungan bukan yang lain.” Om Heri melerai istrinya yang sepertinya masih ingin menjawab Ayah. Akhirnya Tante Vivi menuruti suaminya.
Ayah terduduk sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya, aku tahu perasaan Ayah sedang kacau. Sebenarnya suasana hati kami tidaklah jauh berbeda, Ayah dan aku sama-sama sedang menahan hati karena dera luka yang menghantamnya.
Aku bisa menahan segala nestapa yang menimpaku, tapi aku sangat lemah jika luka itu juga menghantam orang-orang yang aku sayangi.
Mata kami tertuju pada tangga mendengar suara langkah kaki dari sana. Humairah dan Eis turun, aku melihat ada arah di sudut bibir Eis dan lebam dekat mata Humairah.
“Apa yang terjadi?”
***
Bersambung!
Posting Komentar untuk "Cerbung, "Ibuku Gila" Part 9, Oleh Reni Juniarti"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.