"Bayangan Senja" Naskah Skenario Pendek
Naskah skenario pendek
"Bayangan Senja"
Seorang wanita muda bernama Amara kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun menetap di kota. Ia kembali setelah mendengar kabar bahwa ayahnya, yang telah lama sakit-sakitan, meninggal dunia dalam kondisi misterius. Amara merasa ada yang janggal dengan kematian ayahnya dan memutuskan untuk tinggal sementara di rumah masa kecilnya untuk menyelidiki lebih lanjut.
Amara baru saja tiba di rumah keluarganya dan menemukan suasana rumah yang suram. Ia bertemu Pak Surya di halaman rumah.
Pak Surya: (tersenyum tipis)
“Amara, sudah lama sekali. Kami tidak menyangka kau akan kembali.”
Amara: (memandang sekeliling, merasa tidak nyaman)
“Ya, aku juga tak pernah berpikir akan kembali... Tapi aku harus. Ada yang aneh dengan kematian Ayah, Pak Surya.”"
"Pak Surya: (suaranya berubah tenang, namun matanya gelisah)
“Kadang kematian datang tanpa peringatan, Amara. Beberapa hal lebih baik dibiarkan pergi dengan waktu.”
Amara: (menatap tajam, penuh curiga)
“Apa maksud Bapak? Ayahku bilang ada bayangan yang terus menghantuinya sebelum dia meninggal. Apa Bapak tahu sesuatu?”
Pak Surya: (mengalihkan pandangan, tersenyum pahit)
“Bayangan senja itu hanya mitos, anakku. Jangan terlalu mempercayai cerita lama.”"
setelah mendengar jawaban pak Surya yang membuatnya sedikit curiga ia memilih untuk berlalu dari hadapan pak Surya dan lebih memilih masuk ke dalam rumah untuk bertemu sang ibu
sesampainya di ruang tamu Amara melihat ibunya duduk termenung sambil matanya bergerak gelisah kesana kemarii seolah olah merasa ketakutan yang teramat dalam.
(Amara duduk di samping ibunya yang mulai linglung dan sering berbicara sendiri. Mereka duduk di ruang tamu)
Bu Ratna: (berbisik ketakutan)
"Bayangan itu, dia datang lagi... Setiap kali senja. Aku bisa merasakannya... dia dekat."
Amara: (menggenggam tangan ibunya)
“Ibu, apa yang terjadi sebelum Ayah meninggal? Ayah bilang ada sesuatu yang mengejarnya. Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalu?
"Bu Ratna: (menatap Amara dengan mata kosong)
“Jangan tanya Ibu tentang masa lalu, Amara. Itu sudah terkubur. Seperti Yusuf... dia juga dikubur dalam-dalam...”
Amara: (terkejut, belum pernah mendengar nama itu sebelumnya)
“Yusuf? Siapa itu, Bu? Apa dia ada hubungannya dengan semua ini?”
Bu Ratna: (menggenggam erat tangan Amara, suara bergetar)
“Senja... saat itu senja... Kami semua bersalah, Amara. Kami semua…”"
Amara semakin dibuat bingung dengan semua yang dikatakan ibunya. apa maksudnya bersalah? kenapa semua orang bersalah? senja? bayangan? apa semua itu? apa sebenarnya yang terjadi? begitu banyak sekali pertanyaan yang menjalar di benak Amara. melihat kondisi ibunya yang semakin bergetar ketakutan ia memutuskan untuk tidak terlalu jauh menanyakan hal itu sekarang, sehingga dia memilih untuk membawa ibunya ke kamar untuk beristirahat agar rasa takutnya perlahan memudar.
setelah mengantarkan ibunya ke kamar Amara bergegas menuju kamarnya dan mulai memikirkan bagaimana caranya agar kematian ayahnya yang cukup misterius segera terkuak dan apa penyebab ayahnya meninggal. dia kemudian berpikir untuk menanyakan kepada orang orang yang tinggal di balai desa yang kemungkinan mengetahui apa sebenarnya yang terjadi kepada ayah Amara.
keesokannya Amara pergi menemui Pak Gunawan di balai desa, berharap mendapatkan petunjuk lebih banyak. Namun, Pak Gunawan bersikap dingin.
Pak Gunawan: (berdiri di depan jendela, punggungnya menghadap Amara)
“Kau seharusnya tidak kembali, Amara. Desa ini punya aturannya sendiri. Dan keluargamu... sudah melanggar aturan itu sejak lama.”
"Amara: (dengan tegas)
“Keluargaku tidak bersalah. Ayahku meninggal dalam keadaan misterius, dan aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi!”
Pak Gunawan: (berbalik, wajahnya keras dan tanpa ekspresi)
“Kebenaran? Apa yang kau cari mungkin bukan kebenaran yang bisa kau terima, Amara. Senja ini sudah membawa kutukan bagi desamu. Jika kau tidak ingin terjebak, lebih baik tinggalkan desa ini.”
Amara: (dengan marah)
“Saya tidak akan pergi sampai saya tahu kebenarannya!”"
setelah mengatakan itu Amara berbalik pergi meninggalkan balai desa kali ini Amara melakukan hal yang lebih spesifik, ia mendatangi dukun desa untuk mencari petunjuk tentang bayangan yang menghantui keluarganya.
Sarman: (memandang Amara dengan mata yang dalam dan penuh rahasia)
“Bayangan itu bukan hanya cerita, Nona Amara. Itu adalah dendam... dendam yang tidak pernah terbalaskan.”
Amara: (bingung)
“Dendam siapa? Apa yang sebenarnya terjadi di desa ini?”"
"Sarman: (tertawa pelan, suaranya terdengar seram)
“Yusuf... namanya Yusuf. Dia dibunuh oleh ketidakadilan, dan kini dia kembali setiap senja, menuntut penebusan. Mereka yang bersalah... tidak akan pernah bisa melarikan diri.”
Amara: (tercengang)
“Jadi, Ayahku terlibat dalam ini? Apakah dia yang bertanggung jawab?”
Sarman: (menggeleng pelan)
“Bukan hanya dia. Semua orang di desa ini punya bagian dalam dosa itu. Dan kau... mungkin satu-satunya yang bisa menghentikannya.”
Amara sempat tercengang dan bingung dengan masalah yang sebenarnya terjadi kenapa ayahnya terlibat dalam hal seperti ini, tetapi dia merasa tenang setidaknya dengan sarman yang sudah memberikan petunjuk tentang bayangan Senja sedikit demi sedikit masalahnya akan terkuak
di hari berikutnya Amara menemui Dewi teman masa kecilnya yang sejak dulu menetap di desa ini, Amara yakin bahwa sedikit banyaknya Dewi pasti mengetahui tentang peristiwa tragis masa lalu yang konon pernah terjadi di salah satu hutan di desa mereka.
Amara dan Dewi perjalan di hutan dekat desa, tempat dimana peristiwa tragis masa lalu konon terjadi. Amara mencoba menggali informasi dari Dewi
Amara: “Dewi, aku tahu kau tahu sesuatu. Semua orang di desa ini menutupi sesuatu. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Dewi: (terlihat gugup, melirik sekeliling dengan gelisah)
“Aku... aku tidak tahu, Amara. Sudah lama sekali... Aku hanya ingat ayahmu dan beberapa orang dewasa sering ke hutan ini dulu, tapi kami anak-anak tidak boleh ikut.”
"Amara: (memotong, mendesak)
“Jangan bohong! Aku tahu kau mendengar desas-desus. Kau dulu temanku, Dewi. Tolong, katakan apa yang kau tahu.”
Dewi: (terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam)
“Aku dengar mereka bilang... ada seorang pemuda yang dikorbankan di sini. Yusuf... namanya Yusuf. Dia hilang di malam senja, dan sejak saat itu, setiap kali senja turun, ada yang hilang, atau mati. Tapi tak seorang pun berani bicara... karena mereka takut bayangan itu kembali.”
"Amara: (tertegun, merasakan hawa dingin merayap di kulitnya)
“Yusuf... apa hubungannya dengan ayahku?”
Dewi: (menggeleng, air mata mengalir di pipinya)
“Amara, jangan tanya aku lagi. Ini terlalu berbahaya... Bayangan itu nyata. Dia akan mencarimu jika kau terlalu jauh menggali.”
karna tidak tahan dengan banyaknya pertanyaan Amara, Dewi berlari dengan cepat meninggalkan Amara, karna takut akan terjadi sesuatu jika dia terus membahas peristiwa tragis yang pernah terjadi. Amara yang ditinggalkan begitu saja merasa sangat heran dengan sikap Dewi, dia juga bingung kenapa bayangan itu akan mencarinya jika dia terlalu menggali informasi tentang bayangan itu.
(Amara terbangun di tengah malam karena suara-suara aneh di luar rumahnya. Ia melihat bayangan misterius bergerak di luar jendela, mendekati rumahnya.)
Amara: (berbisik pada dirinya sendiri, ketakutan)
“Itu hanya bayangan... hanya imajinasi... Aku harus tenang.”
(Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu. Amara mendekati pintu dengan hati-hati, lalu suara ibunya memecah kesunyian.)"
"Bu Ratna: (dari kamar sebelah, suaranya terdengar panik)
“Jangan buka pintu, Amara! Jangan biarkan dia masuk!”
Amara: (tertegun, berhenti sejenak, lalu mendekati kamar ibunya)
“Ibu, siapa yang ada di luar? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Bu Ratna: (suara bergetar penuh ketakutan)
“Dia datang untukmu, Amara... Yusuf tidak akan pernah berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya.”
(Ketukan semakin keras. Amara kembali ke pintu, menatap dengan cemas.)"
"Amara: (berbisik pada dirinya sendiri)
“Yusuf... apakah ini balas dendamnya? Tapi kenapa aku?”
(Ketika ia meraih gagang pintu, suara ibunya semakin keras.)
Bu Ratna:
“Jangan buka! Jangan pernah buka pintu pada senja atau malam hari!”
setelah melewati malam mencekam di rumah Amara, keesokannya ia pergi ke ruang kerja ayahnya untuk melihat apakah ada sesuatu yang di sembunyikan ayahnya disana. setelah mencari beberapa barang Amara menemukan satu buku yang penuh dengan petunjuk tentang keterlibatan pak Surya.
Amara: (melempar buku ke meja Pak Surya)
“Bapak pikir aku tidak tahu? Semua ini ada di sini! Ayahku menulis semuanya sebelum dia meninggal! Bapak, Ayah, dan orang-orang lain... kalian semua terlibat dalam pembunuhan Yusuf!”"
"Pak Surya: (menunduk, wajahnya muram, tetapi tetap tenang)
“Apa yang kau tahu, Amara? Kau baru saja kembali... Kau tidak mengerti betapa sulitnya hidup di sini saat itu.”
Amara: (marah, menggenggam buku dengan erat)
“Ini bukan soal kesulitan hidup, Pak! Ini soal hidup dan mati! Kalian membunuh orang tak bersalah, dan sekarang dia kembali menuntut balas! Apakah ini yang kalian inginkan?”
"Pak Surya: (melanjutkan dengan nada berat)
"Yusuf tahu sesuatu yang bisa menghancurkan desa ini. Dia menemukan bukti bahwa kepala desa saat itu, termasuk ayahmu, terlibat dalam skandal tanah yang melibatkan banyak nyawa. Yusuf berusaha melaporkan, tapi... Kami semua tahu apa yang akan terjadi jika rahasia itu terbongkar. Desa ini... seluruh desa akan hancur."
Amara: (suara bergetar) "Jadi, kalian memutuskan untuk membunuhnya? Kalian membunuh Yusuf hanya untuk menyelamatkan diri kalian sendiri?""
"Pak Surya: (menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong) "Yusuf tidak bisa dibiarkan hidup. Kami semua mengambil keputusan itu bersama. Dan sejak malam senja itu, dia... dia kembali. Setiap kali senja tiba, kami dihantui oleh bayangannya."
Amara: (menggenggam erat buku yang ia temukan) "Tapi kenapa sekarang? Kenapa Yusuf mengejarku?"
Pak Surya: (memandang Amara dengan tatapan berat) "Karena kau adalah kunci untuk menghentikan semua ini. Darah keluargamu yang menutupnya, dan hanya darah keluargamu yang bisa membuka kembali segel kutukan ini"
"Amara kembali ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan dan ketakutan. Ia memutuskan untuk berbicara lagi dengan ibunya, mencoba mengungkap sisa rahasia yang tersisa.
Amara: (dengan cemas) "Ibu, aku tahu semuanya. Tentang Yusuf, tentang apa yang terjadi saat itu. Tapi aku perlu tahu, bagaimana menghentikannya? Bagaimana menghentikan bayangan itu?"
"Bu Ratna: (dengan air mata mengalir) "Kita semua bersalah, Amara... Tapi hanya kau yang bisa menebusnya. Yusuf... dia ingin kebenaran terungkap. Kau harus pergi ke tempat di mana dia dikuburkan dan mengembalikan apa yang telah diambil darinya."
Amara: (bingung) "Apa yang harus aku kembalikan?"
Bu Ratna: (gemetar, berbisik) "Nyawamu, Amara... hanya dengan pengorbanan yang sama, kutukan ini bisa berhenti."
"Amara menguatkan dirinya untuk pergi ke tempat Yusuf dikuburkan, di hutan dekat desa, tempat yang Dewi sebutkan sebelumnya. Dengan hati berat, ia berjalan sendirian saat senja mulai turun, membawa lilin dan buku ayahnya yang penuh dengan rahasia. Sesampainya di sana, ia menemukan tanda-tanda ritual lama yang sudah usang. Bayangan mulai bergerak di sekelilingnya, semakin nyata dan semakin mencekam.
Yusuf: (suara hantu terdengar dari balik pepohonan) "Kau datang untuk menebus kesalahan mereka, Amara?"
Amara: (berdiri tegar, meski tubuhnya bergetar) "Ya. Aku datang untuk mengakhiri semua ini."
"Yusuf: (suara hantu semakin dekat) "Mereka merenggut hidupku demi menyelamatkan diri mereka sendiri. Kau... darah mereka. Kau harus membayarnya."
Amara: (dengan suara tegas) "Aku tidak bersalah. Tapi aku akan mengembalikan kebenaran. Apa yang kalian lakukan salah, dan itu harus diakui."
Bayangan Yusuf muncul, semakin mendekat. Amara kemudian menyalakan lilin di atas kuburan Yusuf dan membaca petikan dari buku ayahnya, sebuah pengakuan yang diakhiri dengan permintaan maaf."
"Amara: (dengan tegas) "Demi ayahku, dan demi desa ini, aku meminta pengampunan atas semua kesalahan mereka."
Bayangan Yusuf tiba-tiba berhenti. Hawa dingin perlahan memudar, dan bayangannya mulai menghilang ke dalam senja. Tiba-tiba, hutan terasa lebih damai.
Yusuf: (suara memudar) "Pengampunan tidak akan menghapus dosa, tapi setidaknya aku bisa beristirahat."
Amara jatuh berlutut, merasa lega namun kelelahan. Senja mulai menghilang, dan Amara tahu bahwa kutukan akhirnya terangkat."
penulis :
Marisa
Mahasiswa Prodi PBSI
Dalam cerita tersebut pengungkapan konfliknya sangat cepat, dan juga penjelasan tentang kutukannya kurang jelas.
BalasHapusCerita ini adalah cerita yang saya baca pertama kali cerita ini sangat menarik dan menuai kontroversi ternyata desa itu terkutuk ending nya sulit di tebak dan sangat bagus ceritanya…. Karena terdapat misteri didalamnya.
BalasHapusLita Syahrini
Cocok untuk peminat horor, ceritanya menarik, Amara merupakan seorang pemberani. Latar dari cerita ini juga sangat jelas seolah olah kita bisa merasakan apa yang sedang di ceritakan. Dialognya juga mudah dipahami, serta yang paling membuat saya merinding pada bagian dimana Amara hendak membuka pintu dan sang ibu melarang dengan keras. Tanda baca juga bagus
BalasHapusDalam naskah skenario bayangan senja ini memiliki potensi besar untuk menjadi cerita yang berkesan dan penuh makna dengan beberapa penyempurnaan di aspek struktur dan pengungkapan konflik.
BalasHapusPandangan saya terhadap naskah "bayangan senja" Karya Marisa ini sangat cocok dibaca bagi mereka yang menyukai horor dan misteri. Jika dilihat dari dialog nya terlalu sedikit dan terdapat narasi yang panjang sehingga menimbulkan kebosanan pada pembaca. Untuk penokohan nya dijelaskan dengan baik dan lengkap terdapat tokoh antagonis dan protagonis serta tokoh penduduk
BalasHapusMenurut saya ceritanya menarik dan penuh misteri, membuat pembaca penasaran hingga akhir. Akan tetapi ada beberapa bagian terasa diulang-ulang, sehingga membuat alur cerita sedikit lambat.
BalasHapus