Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

"Dear, Mantan" sebuah cerpen karya Noni Anggraini

Dear, Mantan.
Kamu tahu, aku menulis surat ini sebagai curahan hatiku di tengah malam. Aku terbangun dari tidur lelap, duduk dan bersedih mengingat perpisahan kita mulai mendekat. Harus bagaimana lagi? Aku mencintaimu. Kamu pastinya begitu. Aku harap begitu. Tapi kita dengan sadar akan melepaskan satu dengan yang lain. Ironis bukan? Aku tahu, akulah yang telah berusaha keras berpaling darimu. Menjauh. Bahkan aku sampai mengalami kenaikan asam lambung akhir-akhir ini. 
Aku ingin mengingatmu dalam surat yang kutuliskan ini. Tapi, pertama kali aku ingin kau tahu bahwa aku selalu mencintaimu. Oke. 
Kamu ingat pertama kali kita bertemu? Saat itu aku masih pakai seragam abu-abu. Sekolahku mengadakan perjalanan wisata dan ternyata itu mempertemukan kita. Aku berjalan dan melihat pepohonan sawit berbaris rapi menyambut kedatangan kami. Bus berhenti di sebuah demaga, kamipun turun dan menaiki sampan, hm..lebih tepatnya begitu, sih. Sampan itu dilengkapi dengan mesin yang menghantam tenangnya sungai, dan sesekali kami dalam sampan bergoyang mengikuti alunan air dari musik kapal besar yang melintas. Sesampainya di seberang, aku dan temanku berjalan kaki melewati perkampungan di bibir sungai, memasuki istana megah, tentu saja bukan untukku. Aku tidak berharap dengan itu. Indah sekali istana ini. Kemegahan dan kejayaan masa lalu terpampang nyata. Aku terkesima. Perjalanan yang menyenangkan.
Sembilan tahun berlalu, dan takdir membawaku kembali untuk menemuimu. Kamu ada di tempat pertama kali kulihat. Sungai itu masih ada, walaupun mulai dangkal. Kapal kargo masih setia melewatinya. Kali ini aku datang tidak dengan sampan lagi. Sudah ada jembatan indah yang sudi untuk dilewati. kamu tahu, aku sangat gugup, sumpah. Puluhan pernyataan harus dijawab. Sebelum aku bisa dekat dan mengenalmu. Aku berusaha memberi kode kepadamu, bahwa kita pernah bertemu. Tapi kamu bergeming, diam saja. Baiklah, mungkin aku akan sibuk sendiri dengan perasaan ini. Kamu tidak akan mau menjadi temanku, atau seseorang yang membuat aku istimewa.
Diujung tahun, kamu datang dan menerima keinginan hari, aku sampai menangis terharu. Aku segera berlari menuju kamu, mendekap erat. Ah, kamu ingat? Tubuhmu menolak. Aku mungkin saja terlalu sok kenal. Sebenarnya bukan begitu, kamu masih saja ragu dengan keteguhan hatiku. Masih ada hal yang perlu dilakukan, gumammu. Tidak mudah menaklukkan hatiku. Uhh, sombong sekali, tapi aku semakin penasaran dan ingin mencoba.
Kamu pasti tidak lupa 'kan? Saat aku sering mengurai air mata demi meyakinkanmu? Banyak masalah yang mau tidak mau aku hadapi. Tapi senangnya, banyak yang membantuku. Kita pun mulai akrab satu sama lain. Yeah, akhirnya gayung ini bersambut.
Kamu ingatkan pernah mentertawaiku yang sedang sarapan dengan ubi goreng? Saat itu sangat sulit. Aku malu jika harus mengadu ke orangtua. Memberitahukanmu? Tidak mungkin. Kau sudah memberikan modal untuk bertahan hidup, aku saja yang salah mengelolanya. Jadi lebih baik aku diam dan mulai mengunyah ubi goreng ini. Kenapa tidak makan nasi? Ah, bercanda. Beras mana yang akan ditanak? Sepeserpun uang tidak ada ditangan saat itu. Sudahlah, jangan bersedih. Toh semuanya sudah berlalu. Hey, jangan merasa bersalah.
Aku sudah bekerja keras, ikhlas. Tapi masih saja kurang katamu. Kamu berikan dorongan supaya aku menjadi guru yang lebih baik. Saat itu hujan petir, aku dibonceng temanku untuk melakukan tes kompetensi guru. Tanpa persiapan karena sepekan itu aku disibukkan oleh persiapan penilaian oleh kepala sekolah. Saat kuberi tahu hasil tes, kamu sangat senang kan? Belajar lagi. Baiklah. Aku kembali belajar. Kamu menemaniku belajar ke Medan, untuk pertama kalinya. Kamu bahkan tertawa terpingkal saat aku tunjukkan pencarianku di google. Cara naik lift, hahaha. Aku memang sekampung ini. Belum pernah naik lift seorang diri. Jadi aku harus persiapkan dengan matang. Pengalaman pertama menginap di hotel berbintang, yang kamar mandinya lebih luas dari kamarku, membuat aku menangis haru. Kamu duduk di jendela saat itu. Melihat airmata ku turun satu persatu. Aku bersyukur bisa merasakan tidur di kamar hotel, gratis. 
Selanjutnya kamu menemaniku belajar kembali di Pekanbaru, ingatkan? Di Hotel Merdeka. Aku banyak belajar dari guru-guru cerdas di Riau ini. Kamu bilang, belum cukup. Aku harus belajar lebih giat lagi. Aku tidak mengeluh dengan tuntutanmu. Saat itu aku upmasih muda,  sejauh apapun kamu minta aku masih sanggup. Kita melakukan banyak penelitian di kelas, kamu minta aku tuliskan dan kirim di beberapa perlombaan. Oke, aku lakukan. Aku sampai duduk di halte pinggir jalan demi mendapatkan signal internet yang kuat. Duduk berlama-lama di warnet untuk mengumpulkan referensi. Terkadang aku tidak banyak tidur malam untuk menulis laporan penelitian permintaanmu. Anehnya, aku tidak pernah mengeluh. Pada siapapun, apalagi kepadamu. Kata-katamu seperti mantra bagiku. Aku tunduk, dan patuh.
Aku berlari dan mengatakan ada panggilan untuk mengikuti simposium guru di tahun 2017 di Bogor. Kamu tidak keberatan aku berangkat ke sana, walaupun baru menjadi pendengar setia. Tuh kan, perjuanganmu berbuah manis, katamu saat itu. Seumur hidup, pertama kalinya aku naik pesawat Garuda. Aku menangis lagi. Ngoahaha kamu mengejekku cengeng. Huh...tahu apa sih dengan impian yang terwujud? Dream come true gitu lho.
Aku pulang dengan banyak pengetahuan baru. Aku benar-benar merasa menjadi belalang dianta elang di sana. Guru-guru Indonesia begitu hebat. Aku harus lebih keras lagi berusaha, tekadku saat itu. Kamu selalu mendukung apa saja yang ingin kulakukan.
Kamu setia melihat kegigihanku saat itu. Kita bisa ke Jakarta, Batam dan terakhir kalinya di Bali. Nah, pasti nangis lagi. Aku harus bagaimana lagi? Beberapa mimpiku jadi nyata saat bersamamu. Saat ini jangan berharap aku bisa seperti itu lagi. Aku sudah tua, hahaha dan juga tidak bisa apa-apa. Kamu tahu? Guru sekarang muda-muda dan bertalenta. Apa? Kamu ingin aku tidak menyerah? Oke. Akan ku coba lain waktu.
Dear Mantan, 
Sebanyak hal itu kita lalui bersama, lalu saat ini aku ingin berpisah? Jangan katakan aku tidak tahu diri, yaaa. Please! Antara aku dan kamu, ada hati yang juga harus dijaga. Awalnya cinta terhalang restu orangtua itu hanyalah rekaan saja, dalam cerita. Sekarang aku baru tahu, setelah mengalami dengan nyata. Aku mencintaimu, oke. Tapi, Jika orangtua memanggil, aku harus melepaskan genggaman tangan kita. Aku harus pergi meninggalkanmu dan semua kenangan indah ini. Tidak, aku tidak akan lupa jasa dan budi baikmu terhadapku. Aku janji dan aku juga tahu diri. Kamu ingat, Segala hal yang berkaitan dengan improvement-ku akan menjadi prioritas? walaupun kita berjauhan nanti, aku akan selalu memperbaiki diri. Aku tidak akan menyematkan rasa malu di wajahmu. You have my word. Aku akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Menjadi guru yang mendengarkan muridnya, sabar saat mengajar, selalu melihat sisi manusia saat mereka alpa. Aku akan belajar lagi. Doakan aku bisa jadi mahasiswa lagi, ya. Eh, aku masih saja meminta kepadamu. Maaf.
Sekarang, aku hanya ingin membuat lebih banyak kenangan denganmu. Berjalan di pinggir sungai Siak, bergandengan tangan di jalan Sapta Taruna dan Sutomo, duduk melingkar di taman Tengku Latifah, berlarian di taman Singapura, berfoto di depan klenteng, berlarian di ruang terbuka Hijau yang benar-benar memanjakan mata. Jika aku rindu semua ini, aku harus kemana?
Kamu tahu, pendar cahaya yang menimpa sungai Siak saat malam sungguh membuatku rindu? Sedih. Bahkan pikiranku terbawa arus sampai muara. Aku harus meninggalkanmu, teman, dan keluarga di sini. Bagaimana jika aku rindu? Bagaimana jika aku ingin berjalan dan menikmati hamparan permadani hijau, sesekali dibelai angin sepoi-sepoi segar? Mengunjungi perpustakaan dengan lautan buku, jalan rata sampai pelosok desa, pasar malam, celotehan Melayu dengan aksen yang khas membuat rindu. 
Hal ini tidak mudah bagiku. Kamu  mungkin sanksi hanya karena aku tidak menangis kali ini. Kamu hanya tidak pernah tahu airmata yang turun saat aku membasuh muka, airmata yang menggenang saat aku duduk sendiri. Aku sudah dewasa dan mulai berhemat airmata. Aku ingin mengenangmu sendiri, dengan senandung lagu patah hati yang kunikmati sendiri. Maaf jika tidak mau berbagi.
Jika kita sudah berpisah, maukah kamu melihat kearah ku lagi? Saat kita berselisih di jalan, atau aku mengunjungimu untuk bernostalgia? Aku sudah merindukanmu bahkan sejak sekarang, saat perpisahan ini kurencanakan. Aku akan patah hati, menggigil menahan rasa. Tapi aku tetap harus pergi. Kamu tidak akan tahu bagaimana rasanya. 
Dear Mantan,
Aku menulis puisi untukmu. Dibaca, yaa! Oh ya, yuk kita baca bersama.
Terimakasih, untuk sembilan tahun hebat ini.
Terimakasih, untuk kesabaran selama ini.
Terimakasih, untuk semangat membara menghadapi bara kehidupan
Terimakasih, untuk tunjuk ajar setiap kesilapan
Terimakasih, untuk tawa saat duka
Terimakasih, untuk tangis bahagia
Terimakasih, untuk membuat aku kuat menerima kelemahan diri
Terimakasih, untuk rasa anti rasa, anti baperan, selalu melihat realita
Maaf, aku bukan teman yang hebat untukmu
Maaf, aku belum menjadi guru yang sempurna
Maaf, aku belum menjadi manusia yang peka
Maaf, banyak mimpi yang belum jadi nyata.
Maaf, untuk rahasia yang terbuka.
Kamu begitu berharga dan istimewa
Jika sampai suatu hari nanti, aku datang kembali dan pergi lagi
Hanya karena rindu yang memakan seluruh hatiku
Kemanapun aku pergi, namaku akan terpatri
Kokoh dan luas
Ku pendam jauh di dalam sana
Agar hanya aku saja.
Kamu bersemayam
Diam
Mencengkram
Tertulis dengan darah,
Mantan  Terindah .

Siak, tengah malam buta
Aku yang merindu

Penulis: Noni Anggraini


Posting Komentar untuk ""Dear, Mantan" sebuah cerpen karya Noni Anggraini"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.