Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Krisis Ekonomi Menciptakan Pola Baru dalam Komunitas: Antara Kerentanan dan Kolaborasi

Krisis Ekonomi Menciptakan Pola Baru dalam Komunitas: Antara Kerentanan dan Kolaborasi
 
(Sumber foto: pixabay.com)

      Krisis ekonomi global telah membawa perubahan besar pada masyarakat, menciptakan tekanan baru sekaligus membentuk pola solidaritas yang sebelumnya tidak terlihat. Bagaimana komunitas di berbagai belahan dunia menavigasi situasi ini? Dunia menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks, dipicu oleh pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan perubahan iklim yang merusak sistem produksi global. Laporan Bank Dunia pada awal 2023 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 1,7%, salah satu yang terendah dalam 30 tahun terakhir. Inflasi yang meroket menjadi momok utama, dengan harga kebutuhan pokok seperti gandum dan minyak goreng melonjak hingga 40% di beberapa negara berkembang.
      Di negara-negara seperti Lebanon dan Haiti, dampak inflasi sangat terasa. Harga tepung terigu di Lebanon, misalnya, meningkat hingga 330% sejak 2019. Hal ini memengaruhi kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar, memperburuk kemiskinan yang sudah meluas sebelumnya. Di Ethiopia, konflik berkepanjangan ditambah dengan kekeringan ekstrem membuat lebih dari 28 juta orang memerlukan bantuan kemanusiaan pada 2023.
Krisis ini membawa dampak besar pada masyarakat kelas bawah, khususnya di negara berkembang. Tingkat pengangguran global melonjak, dengan lebih dari 207 juta orang kehilangan pekerjaan pada 2022. Sebagian besar pekerja di sektor informal, yang mencakup 60% dari total tenaga kerja dunia, kehilangan pendapatan tanpa adanya perlindungan sosial memadai. Kondisi ini mendorong jutaan keluarga jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem.
       Di sektor pendidikan, dampaknya juga signifikan. Selama pandemi, lebih dari 1,6 miliar anak terpaksa berhenti sekolah, dengan 1,3 miliar di antaranya tidak memiliki akses ke perangkat atau koneksi internet untuk pembelajaran daring. Akibatnya, ketimpangan pendidikan meningkat, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah, seperti di Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan
Selain itu, gender menjadi faktor lain yang memperburuk dampak sosial. Wanita dan anak perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak, dengan 388 juta hidup dalam kemiskinan ekstrem. Krisis ekonomi meningkatkan risiko pernikahan anak, dengan tambahan 13 juta anak perempuan diperkirakan menghadapi risiko tersebut sejak awal pandemi.
       Meski menghadapi tekanan yang luar biasa, banyak komunitas menunjukkan daya tahan dengan membentuk pola solidaritas baru. Di Kenya, koperasi barter menjadi solusi untuk menjaga ketahanan pangan di tengah kelangkaan uang tunai. Warga bertukar hasil pertanian seperti jagung, beras, dan susu untuk kebutuhan lain, menghindari inflasi yang tidak terkendali.
       Di negara maju, fenomena serupa terlihat dalam bentuk inisiatif bank makanan. Permintaan terhadap bank makanan meningkat hingga 60% selama pandemi di Inggris dan Amerika Serikat. Komunitas lokal juga menggunakan teknologi untuk menggalang dana dan mendistribusikan kebutuhan pokok. Sebagai contoh, platform digital di Filipina membantu petani kecil menjual hasil panen langsung kepada konsumen, memotong rantai distribusi yang sering kali merugikan mereka.
Peran teknologi dalam mendorong solidaritas tidak bisa diabaikan. Di Amerika Latin, aplikasi berbasis komunitas memungkinkan warga berbagi sumber daya seperti transportasi, air, dan listrik, yang membantu mengurangi tekanan ekonomi. Di Indonesia, platform digital berbasis donasi membantu ribuan keluarga memenuhi kebutuhan harian mereka selama krisis.
      Namun, digitalisasi juga menghadirkan tantangan tersendiri. Kesenjangan digital tetap menjadi hambatan besar, terutama di negara-negara berkembang. Data menunjukkan bahwa lebih dari 3 miliar orang masih tidak memiliki akses internet memadai, membatasi partisipasi mereka dalam inisiatif berbasis teknologi. Meskipun solidaritas masyarakat meningkat, banyak tantangan tetap ada. Selain ketimpangan digital, tingginya biaya operasional untuk bantuan kemanusiaan juga menjadi kendala. Program bantuan seperti yang dilakukan oleh World Food Programme menghadapi kenaikan biaya hingga 44% dibandingkan sebelum pandemi. Di negara-negara seperti Afghanistan dan Republik Demokratik Kongo, kondisi politik dan konflik berkepanjangan memperparah situasi, membuat bantuan sulit dijangkau oleh kelompok yang paling membutuhkan.
        Selain itu, ancaman perubahan iklim semakin membebani komunitas yang sudah rentan. Kekeringan di Afrika Timur, banjir di Asia Selatan, dan badai di Karibia menghancurkan mata pencaharian jutaan orang, memperburuk kondisi sosial-ekonomi mereka. PBB memperkirakan bahwa lebih dari 339 juta orang akan membutuhkan bantuan kemanusiaan pada 2023, angka yang meningkat signifikan dari tahun sebelumnya.
      Perubahan pola hubungan sosial yang terjadi akibat krisis ekonomi menghadirkan peluang untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan resilient. Banyak ahli berpendapat bahwa kolaborasi komunitas dapat menjadi model untuk menghadapi tantangan global lainnya, seperti perubahan iklim dan ketidakstabilan politik. Namun, keberlanjutan solidaritas ini memerlukan dukungan kebijakan yang memadai. Pemerintah harus memainkan peran aktif dengan menyediakan subsidi bagi usaha kecil, investasi dalam pendidikan berbasis komunitas, serta memperkuat jaringan pengaman sosial. Tanpa intervensi ini, solidaritas yang terbangun selama krisis dapat memudar seiring waktu.
        Kesimpulannya krisis ekonomi global telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dan bekerja sama. Di tengah kerentanan yang meningkat, solidaritas dan kolaborasi muncul sebagai respons alami masyarakat terhadap tantangan yang dihadapi. Namun, untuk memastikan dampak jangka panjang yang positif, dukungan dari pemerintah, organisasi internasional, dan sektor swasta sangat diperlukan. Dengan mengintegrasikan pola solidaritas ini ke dalam kebijakan publik, masyarakat global dapat membangun ketahanan yang lebih baik terhadap krisis di masa depan. Meski jalan ke depan penuh tantangan, krisis ini juga membuka peluang untuk memperkuat jaringan sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adaptif.

Penulis: Zalda Maulidia
Mahasiswi Jurusan Pendidikan IPS, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Editor : Nuratika 


Posting Komentar untuk "Krisis Ekonomi Menciptakan Pola Baru dalam Komunitas: Antara Kerentanan dan Kolaborasi"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.