Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Wanita yang Dimadu _ Cerpen Depri Ajopan



Wanita yang Dimadu

     Aku yang ingin memulai percakapan, rasa takut terselubung dalam hatiku. Tapi aku harus memberanikan diri untuk memperjelasnya lagi. Walaupun sah dalam hukum, aku tidak mau diam-diam melakukannya tanpa sepengetahuan istriku, tanda aku begitu menyayanginya, dan aku melakukan ini bukan tanpa alasan. 

     “Benar kau tidak marah kalau aku menikah lagi?” Istriku menggeleng.

     “Jadi kau tidak cemburu?”

      “Wanita mana yang tidak cemburu jika suaminya menikah lagi Mas. Tuhan saja tidak mau diduakan. Sampai-sampai yang menyekutukannya tidak diberi ampun,” ia menyentilku. Perasaanku yang tadi bergairah layu kembali. Wajahnya yang tak ikhlas membuatku menutup mulut. Dan aku tidak harus memikirkan itu semua, yang penting ia setuju. Setelah ini, apa pun yang terjadi, aku yang berbuat akan menghadapi risikonya sendiri. Aku turun dari ranjang setelah mencium keningnya sedih. Bukannya aku tidak mencintai istriku. Tapi sudah tujuh tahun kami menikah belum juga dapat momongan. Dan aku tidak mau menceraikan dia sampai kapan pun. Setelah mencuci muka, aku membuat kopi sendiri tidak seperti biasa minta dibuatkan istriku. Waktu aku baca koran, istriku duduk di dekatku seperti mau mengatakan sesuatu, tapi ia masih terbisu. Mungkin belum saat yang tepat aku mengajak ia berdialog tentang ini. Ia menatapku tanpa kata.

     “Kalau kau tidak mengizinkan tidak masalah, aku tidak akan menikah,” aku membalik koran, meneruskan bacaanku tanpa melihatnya lagi.

     “Aku izinkan Mas, dengan satu sarat.”

     “Apa itu?” Aku langsung melipat koran, meletaknya di atas meja.

     “Belikan aku mobil Mas, terus kasih aku uang. Biar aku pergi dari sini. Aku ingin mencari ketenangan.” Aku sebagai seorang pengusaha yang bisnisnya masih berjalan mulus tak sulit bagiku mengabulkan permintaannya. Masalahnya dia mau pergi ke mana? Selama ini dia jarang keluar rumah. Lagian mobil juga ada di rumah kami. Selama parkir di pekarangan rumah jarang ia bawa. Ia keluar sekali-sekali, dan itu pun selalu berdua denganku. Istriku benar-benar perempuan rumahan. Aku yakin setelah menikah lagi nanti, aku tidak bisa mencitai istriku yang ke dua seperti mencintai istriku yang pertama. Aku tetap memperlakukan istri pertamaku adil seadil-adilnya. Apa pun yang ia minta selama aku sanggup, tak pernah kutolak. Segalanya yang ada di rumah ini, dan juga hasil kerja kerasku adalah milik kami berdua. Aku sadar, dan aku tahu diri aku bukan siapa-siapa tanpa kehadirannya di sisiku. Kalau ia meminta dibelikan sebuah mobil, hari ini pun aku sanggup mengabulkannya. Masalahnya dengan mobil itu ia ingin mencari ke tenangan ke mana? Berarti setelah aku menikah nanti, hidupnya tidak akan pernah tenang lagi? Atau jangan-jangan ia bermaksud ingin meninggalkanku selamanya.

     “Kamu mau pergi ke mana sayang?” Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku melihat kesedihan di matanya.

      “Tolong izinkan aku tidak menjawabnya Mas. Aku juga sudah beri izin kamu untuk menikah lagi. Dan aku pergi nanti setelah sebulan, atau dua bulan pernikahanmu dengan istri keduamu.” 

      “Kau pergi berapa lama?”

       “Aku tak tahu.”

Seharusnya aku jadi laki-laki yang tegas, tidak membolehkan ia pergi. Tapi saat ini aku juga tidak boleh egois mengekang permintaannya, setelah permintaanku dikabulkan, dan aku berharap secepatnya punya anak setelah menikah nanti dengan istri kedua. Akhirnya aku turuti permintaannya. Aku belikan sebuah mobil untuknya, dan ia menepati janji. Ia tidak langsung pergi walaupun waktu pernikahanku ia tidak hadir, aku bisa mengerti ia yang tersakiti. Dan yang membuatku bersukur, aku berhasil mempertemukan kedua istriku dengan caraku yang baik. Kadang istri pertama yang masih tinggal di rumah yang lama kuajak ke rumah istriku kedua yang kubelikan rumah baru. Aku melihat mereka mengobrol panjang, dan aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Terkadang istri kedua yang mengajakku mengunjungi istri pertama. Aku melihat di sana mereka berdua tertawa-tawa duduk di atas kursi sambil mencicipi masakan yang tersaji yang baru dibuatkan asisten rumah tangga. Aku merasa bahagia dan tetap berusaha tidak akan membuat mereka kecewa. Dua bulan setelah pernikahanku, istri pertama mohon pamit untuk meninggalkan rumah. Ia pergi dengan mobil barunya, dan dengan tiga lembar kartu ATM. Setelah ia pergi, aku juga jarang ke rumah  pertama. Dua orang asisten rumah tanggaku yang tinggal di situ, mereka suami istri, mengaku rumah sepi setelah kepergian istri pertamaku. Mereka senang dengan keramahan istriku itu yang memperlakukan mereka seperti saudara sendiri. Aku menenangkan hati mereka yang sedih, da bilang pada mereka, dia pasti datang.  Dan aku terus menunggu kehadirannya kembali seperti yang pernah ia janjikan. Tapi setiap kali ditelpon, nomor istri pertamaku itu tak pernah aktif dua minggu setelah kepergiannya. Kegelisahan semakin menghantui jiwaku.                                                                 

                                                                * * *

     Sudah lama aku menunggu istri pertama, belum datang juga. Kesedihan yang kurasakan semakin bertumpuk-tumpuk, sampai aku menangis diam-diam. Seminggu setelah itu kesedihanku hilang, istri keduaku hamil. Sebentar lagi aku akan jadi seorang ayah.

     “Kalau nanti anak kita laki-laki namanya siapa Mas?” Aku dan dia masih berbaring di atas kasur.

       “Terserah kau saja,” mendengar jawabanku ia kesal.

       “Kalau ia laki-laki tanggung jawabmu yang memberi nama,” ada pula aturan seperti itu, pikirku.

        “Kalau ia perempuan?” Mendengar aku siap melayani obrolannya,  ia senang melihatku. Ia langsung duduk merapikan rambutnya.

       “Kalau perempuan aku kasih nama Niken,” aku terkejut.

        “Kok Niken, diakan nama istriku.”

         “Diakan istri pertamamu yang pergi gak jelas gitu, mungkin dia sudah lenyap dari muka bumi,” kenapa ia tiba-tiba berubah menyudutkan istri pertamaku.

     “Bolehkan, kalau nama anak kita nanti sama dengan nama istrimu yang pertama. Atau dikasih nama yang sama dengan istri ketigamu.”

           “Maksudmu, istriku ketiga bagaimana? Aku cuma punya dua istri.”

          “Itukan sekarang Mas,” aku merasa tidak tenang diperlakukan seperti ini. Aku teringat lagi pada istri pertama. Begitu baik ia memperlakukanku. Wajahnya yang manis ingin aku kecup.

           “Kau kan ada istri pertama. Dan ia perempuan baik. Apa salahnya aku buat nama anakku Niken. Tidak mungkin kuberi nama Ningsih, namaku sendiri, ibunya. Atau kita tunggu saja dulu. Siapa tahu sebentar lagi kau ada istri ketiga yang baik sebelum aku melahirkan. Bolehkan aku kasih nama anakku nanti nama istrimu ketiga itu?” Baru kali ini ia menyerangku seperti itu. Aku yakin ini termasuk bentuk pendurhakaan pada suami, karena ia tahu aku pasti tersinggung dengan ucapan-ucapannya yang keterlaluan. Dan ia memang sengaja menyinggungku. Apa yang terjadi dengan kamu Ningsih? Dia kan tahu aku menikah dengannya karena ingin punya keturunan. Dan sebentar lagi mungkin aku akan mendapatkannya. Tapi kenapa ia masih bertingkah aneh di depanku. Apa ia ingin hubungan kami berakhir?

     “Terus terang, aku mau menikah denganmu karena hartamu. Aku yakin beda dengan istrimu yang pertama, yang mungkin siap hidup denganmu memulainya dari nol. Dan aku berlaku baik pada istrimu pertama, itu pura-pura. Asal kau tahu, tidak ada perempuan yang mau diduakan atau dijadikan yang kedua.” Ia semakin berani. Atau aku yang bodoh, tidak mutar otak sebelumnya, bagaimana mungkin gadis secantik dan semuda itu mau menikah denganku kalau bukan karena harta. Haruskah aku membenarkan pengakuannya untuk meruntuhkan kepribadianku. Untuk saat ini demi menunggu kelahiran seorang anak, aku mengalah dan terus bersabar. Biar saja ia berkoar, aku tak boleh terpancing emosi. Setelah ia melahirkan, kalau ia macam-macam lagi, aku tinggal menceraikannya, membawa anak itu ke rumahku pertama. Kami hidup tenang dengan istriku pertama setelah ia kembali nanti. Aku harap ia segera pulang. Wajah istri pertama semakin kuingat. Ketika ia tersenyum, bisa membuat senang hatiku. Aku merindukanmu Niken. Kapan kau pulang sayang? Seperti biasa, aku menelponnya, tetapi hapenya belum aktif juga. Sejak ia meninggalkan rumah. Aku hawatir terjadi sesuatu pada dirinya. Jika ia kenapa-kenapa, aku tak memafkan diriku sendiri.

                    * * *

Sudah hampir dua tahun Niken tak pernah kembali, hidupku semakin hancur walaupun sudah mendapatkan seorang anak. Istri keduaku ketahuan selingkuh. Waktu itu juga aku ceraikan dia dengan suaraku yang menggelegar, aku suruh segera ke luar dari rumah. Waktu ia mengemasi barang-barang, aku melihat lelaki selingkuhannya duduk santai di luar. Aku datangi dia bermaksud menyuruhnya pergi. Kalau tidak, dia akanku hujar sampai mati di sini.

       “Sebaiknya kau tidak usah menceraikan istrimu,” seenaknya saja dia ngomong seperti itu mendahuluiku, ketika aku baru saja lewat di bibir pintu. Setelah ia menghancurkan rumah tanggaku, lalu sok-soan menasihatiku. Dasar lelaki biadab yang tidak punya perasaan. Dia tidak tahu sehancur apa hatiku. Tidak ada alasan lagi untuk aku tidak menghabisinya.

          “Aku minta maaf atas kesalahanku. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dan ini terjadi gara-gara kau juga. Karena kau telah menyakiti hati istri pertamamu itu,” ia menunjukku sembarangan dan menggoyang-goyangkan tangannya di depanku, benar-benar kurangajar lelaki itu. Kenapa semudah itu ia menyalahkanku, tahu apa ia tentang keluargaku, membawa-bawa istri pertamaku lagi. Padahal sesungguhnya, aku yakin ia tidak tahu siapa sesungguhnya aku ini. Aku lelaki pekerja keras, urusannya kantor dengan proyek-proyek baruku. Persetan dengan perselingkuhan haram seperti yang ia lakukan dengan istriku. Aku selalu jaga diri dari perbuatan terkutuk seperti itu, tapi inilah balasan yang aku dapatkan, perih sekali. Selama ini aku hanya sibuk melaksanakan tugasku untuk kepentingan istri dan anakku. Dan ternyata istriku yang selingkuh, dan anehnya selingkuhannya mengajakku bersatu lagi dengan istriku. Apa maksudnya dia. Mungkin setelah ini dia menumpuk dosa lagi dengan istriku itu. Parahnya ia menyalahkanku lagi. Siapa sih dia, yang terlalu jauh ingin mencampuri urusan keluargaku.

     “Kau pergi sekarang sebelum kuhabisi.” Ia berdiri, wajahnya yang menjijikkan ingin rasanya kurobek-robek.

     “Kau tahu aku siapa?” Kata-katanya seperti mau mengancamku. Aku tampar keras wajahnya, dan ia tidak melawan.

     “Aku tak mau tahu kau siapa. Sekarang juga pergi dari sini!” Kesabaranku sudah terkikis. 

     “Aku adalah Niken, istrimu yang pertama Mas,” pelan-pelan ia mundur ke belakang, aku mengikutinya. Aku menyeret tubuhnya menyuruh ia pergi sebelum kebohongannya meluas, dan aku teriak-teriak mengusirnya. Suaraku yang keras di dengar tetangga sebelah, mereka cuma melihat sesaat, tidak mau ikut campur karena mereka tahu ini urusan rumah tanggaku.

     “Aku melakukan operasi plastik Mas. Aku jadi laki-laki sekarang. Selama ini aku mengintai kehidupanmu dan istrimu, biar aku bisa menghancurkannya.” Ia melembutkan suaranya. Suara seperti itu memang tak asing bagiku, dan langsung mengingatkanku pada istri pertamaku.

     “Aku sudah jual mobil pemberianmu Mas, dan aku sudah dapat pekerjaan,” aku merinding. Bukankah ini mimpi, aku meraba-raba pipiku.

  “Lihat ini,” ia membuka bajunya. Membuktikan ia seorang Niken. Goresan luka di bawah dadanya tampak seperti yang ada pada istriku.

     “Kau seorang suami yang suka minta dibuatkan kopi setelah bangun tidur. Ketika berangkat kerja selalu minta dicium,” pernyataannya benar, dan aku percaya setelah ia banyak cerita tentang kisah kami.

     “Apa Ningsih tahu, siapa kau sebenarnya?” Ia menggeleng.

      “Kenapa kau melakukan ini Niken?”

     “Karena aku ingin sepertimu, jadi seorang lelaki yang bisa beristri dua, bahkan lebih. Jadi tidak tersakiti sepertiku yang cemburu.”

      “Aku jugakan tersakiti Niken.”

     “Itu karena perbuatanu sendiri.”

 Aku merasa dunia ini gelap, langit jatuh menimpaku.         

 

 

Biodata Penulis :

Depri Ajopan

      Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Novel terbarunya Pengakuan Seorang Novelis terbit Oktober 2024. Cerpennya pernah terpilih terbaik 1 di Pustaka Metari. Cerpennya yang lain telah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Koran Tempo, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Indonesia Baru, Jawa Pos Radar Lawu, Lensasastra.id, Langgampustaka.com, tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, Radar Madura.id, marewai.com, Jawa Pos Radar Bojonegoro, Radar Utara, Balipolitika, takanta.id dll. Penulis anggota Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra. Sekarang mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassaadah Kepenuhan Barat  Mulya Rokan Hulu-Riau, sebagai guru Bahasa Indonesia. Hp/Wa: 082391499398                       

 

 

 

2 komentar untuk "Wanita yang Dimadu _ Cerpen Depri Ajopan "

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.